Kamu masih bisa merasa sendiri di suatu ruangan penuh dengan manusia. Kamu bisa tertawa, bahkan berinteraksi dengan keras ketika suatu topik yang kamu sukai muncul ke permukaan. Ketika lagu-lagu yang kamu ketahui tiap lirik dan dentumannya meraung pada stereo, badanmu tergerak. Kanan, lalu kiri, tangan seperti melukis di udara, rambut yang tadinya bersatu dengan aman sekarang terbebas dan menggila. Badan menjadi ringan, kamu merasa hidup.
Pulang dalam rangkulan orang yang namanya saja masih samar-samar untuk diingat, kamu bagaikan buku yang terbuka. Yang penting semua terasa nikmat. Yang penting pada saat itu kamu merasa hidup.
Tidak ada yang bilang bagaimana bangsatnya pukulan palu godam yang tidak terlihat dapat terasa sangat sakit ketika kamu menutup pintu kamar. Tidak ada yang bilang bagaimana susahnya meraup oksigen sampai sampai kamu harus terduduk di ujung kamar, satu tanganmu mengepal dan beristirahat pada dinding, berharap itu bisa menopang badanmu.
Terapismu bilang, 4-8-7. Ambil napas, tahan, keluarkan. Diulang. Ulang terus. Ulang sampai kapan?
Kepalamu berputar tiada henti. Jantungmu terasa seperti ingin loncat, padahal paru-parumu terasa makin berat. Ingin rasanya menabrakkan kepala agar bisa berhenti berputar. Ingin rasanya menggunting telinga untuk menghentikan riuh suara yang berkecamuk. Tapi, apa daya? Ternyata semua suara itu datang dari dalam pikiranmu.
Orang-orang dengan enteng tersenyum dan mengelus pundakmu. “Sudah coba yoga? Atau meditasi? Mindfulness?”
Bagaimana kamu bisa sadar secara penuh ketika mencari ketenangan saja selalu terusik oleh pikiran yang tiada hentinya bergonjang-ganjing seperti badai di bulan Desember? Lalu kamu salahkan itu kepada gelas-gelas alkohol yang ditenggak atau tumpukan bungkus Camel Purple yang sudah kosong. Lalu kamu salahkan itu pada dirimu sendiri.
Bangsat memang, kamu memberi orang-orang disekitarmu perhatian dan fokus penuhmu. Dengan mudah, kamu memberikan seluruh kasih sayang kepada mereka, tapi tidak bisa memberikannya untuk dirimu sendiri. Mencintai semua tapi dirimu sendiri.
Tapi, bagaimana bisa kamu cinta dengan dirimu sendiri? Toh, kamu tahu sendiri seluk beluknya, semua kebusukan, semua kegagalan, semua hal yang seharusnya bisa kamu miliki jika bukan karena kemalasanmu yang selalu kamu sembunyikan dengan alasan “Aku butuh istirahat.”.
Setelah menendang-nendang kursi kerja yang beroda, dan helai demi helai rambut yang dicabut paksa karena tidak bisa berteriak, kamu bergegas mengambil kapas putih. Berdiri di depan kaca, kamu usap wajahmu bebas dari kebohongan-kebohongan untuk menutupi siapa dirimu yang sebenarnya. Kamu menyerah pada kasur, berselimut rasa salah dan kebencian yang anehnya terasa hangat dan nyaman. Seperti sudah dibuat khusus untukmu. Hari besok masih panjang. Kamu harus bersiap untuk berpura-pura hidup lagi. Mencari orang untuk mengisi kekosongan dengan kata-kata yang sebenarnya sama kosongnya.
Tapi tidak apa-apa, setidaknya saat itu kamu merasa dicintai, dan hidupmu tidak menyebalkan-menyebalkan amat.